Tradisi, Keberagaman, dan Identitas Budaya di Desa Wonokerso

  • Jul 29, 2024
  • Desa Wonokerso

Etnografi Tradisi Baritan: Simbol Pengampunan dan Penolak Bala dalam Budaya Jawa

Tradisi Baritan adalah sebuah slametan yang digelar pada malam Jumat Kliwon di bulan Asyura, yang merupakan ritual penting dalam budaya Jawa. Di dalam etnografi ini, kita akan mengeksplorasi bagaimana tradisi ini dihayati dan dilaksanakan oleh masyarakat setempat, serta makna simbolis di baliknya.

Tempat dan Waktu

Tradisi Baritan selalu berlangsung di perempatan atau pertigaan jalan, di mana masyarakat berkumpul dalam suasana kekeluargaan. Masing-masing Rukun Tetangga (RT) di setiap dukuh juga menyelenggarakan acara ini secara mandiri, menunjukkan pentingnya partisipasi komunitas dalam pelaksanaan ritual.

Makna dan Simbolisme

Salah satu elemen utama dari tradisi Baritan adalah makanan khas seperti kupat dan lepet. Kupat, yang berarti “menawi lepat” atau "salah", dan lepet, yang berarti "luput", menggambarkan simbol pengampunan dan permohonan maaf. Kupat dan lepet adalah simbolisasi dari niat untuk meminta pengampunan, baik kepada Tuhan maupun sesama manusia. Hal ini menekankan bahwa tidak ada manusia yang sempurna dan setiap orang memiliki kesalahan yang perlu diakui dan diperbaiki.

Kaitannya dengan Kepercayaan dan Mitologi

Baritan juga memiliki dimensi spiritual yang kuat. Tradisi ini berfungsi untuk menolak bala atau musibah di bulan Suro, yang dikenal sebagai bulan mistis dalam kalender Jawa. Menurut kepercayaan masyarakat, bulan Suro adalah waktu yang penuh dengan kejadian tragis di masa lalu, sehingga banyak orang yang enggan melangsungkan pernikahan pada bulan ini. Sebaliknya, bulan-bulan besar seperti bulan ba’da mulud dianggap lebih baik untuk pernikahan dan kegiatan bahagia lainnya.

Tradisi Baritan merupakan contoh jelas bagaimana ritual dan simbolisme dalam masyarakat Jawa berfungsi untuk menyatukan komunitas dalam menghadapi tantangan dan mengingatkan tentang nilai-nilai spiritual. Melalui kupat dan lepet, masyarakat tidak hanya berdoa untuk keselamatan tetapi juga merayakan pengakuan akan kesalahan dan permohonan ampunan, yang menjadi inti dari kehidupan sosial mereka. Dengan memahami tradisi ini lebih dalam, kita bisa melihat bagaimana budaya lokal mengintegrasikan kepercayaan, nilai-nilai sosial, dan simbolisme dalam kehidupan sehari-hari mereka, dan bagaimana ini berperan penting dalam menjaga harmoni dan keharmonisan dalam masyarakat.

Tradisi Asyura: Merajut Tradisi, Menyusuri Sejarah

Setiap tanggal 10 Muharram, umat Muslim di berbagai belahan dunia merayakan tradisi Asyura, sebuah hari yang sarat makna dan ritual. Tradisi ini bukan hanya sekadar perayaan, tetapi juga merupakan kesempatan untuk merenungkan sejarah dan berbagi berkah dengan sesama.

Tujuan dan Makna

Tradisi Asyura memiliki tujuan utama untuk menolak bala dan memohon perlindungan dari Tuhan. Di hari yang istimewa ini, berbagai komunitas melaksanakan ritual dengan cara yang beragam, namun semuanya mengarah pada satu tujuan: memperkuat ikatan spiritual dan sosial.

Menu Tradisional: Bubur Suran

Salah satu aspek yang paling menarik dari perayaan ini adalah persiapan masakan khas, terutama Bubur Suran. Bubur ini tidak hanya sekadar makanan; ia merupakan simbol persatuan dan rasa syukur. Berbeda dari bubur lainnya, Bubur Suran dibuat dengan bahan-bahan seperti daging sapi, ayam, jagung, dan kacang yang dimasak dengan cara yang sederhana namun penuh makna. Biasanya, bubur ini dicampur dengan jamu, bukan dengan rempah-rempah, menciptakan rasa yang khas dan berbeda.

Sejarah yang Terpatri

Tanggal 10 Muharram juga memiliki signifikansi historis yang mendalam dalam Islam. Salah satu peristiwa penting yang terjadi pada hari ini adalah kisah Nabi Nuh. Ketika banjir bandang melanda, Nabi Nuh membangun perahu berdasarkan perintah Tuhan. Mereka yang taat pada Nabi Nuh selamat dari bencana tersebut, sementara yang tidak taat mengalami kehancuran. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 10 Muharram dan menjadi salah satu alasan mengapa hari ini diperingati dengan penuh kesadaran spiritual.

Peristiwa Sejarah Lain

Selain kisah Nabi Nuh, tanggal 10 Muharram juga mengingatkan pada peristiwa-peristiwa besar lainnya dalam sejarah Islam, seperti perang-perang penting yang terjadi pada tanggal tersebut. Sebagai bentuk penghormatan dan refleksi, banyak orang memilih untuk berpuasa atau mengadakan slametan, sebuah upacara berbagi makanan yang memperkuat rasa kebersamaan.

Ritual dan Tradisi Lokal

Setelah peristiwa banjir bandang, perbekalan yang tersisa di perahu Nabi Nuh diolah menjadi bubur setelah 40 hari. Tradisi ini diadaptasi dalam berbagai cara oleh komunitas Muslim, dengan membuat slametan dari bahan-bahan yang ada, seperti jagung, beras, dan abon. Ritual ini bukan hanya tentang makanan, tetapi juga tentang menghargai berkah dan menyebarkan kebaikan.

Larungan: Tradisi Berbagi

Salah satu tradisi menarik yang sering ditemui adalah budaya larungan, di mana makanan atau benda-benda tertentu dilarung ke sungai sebagai simbol pelepasan dan permohonan keselamatan. Tradisi ini mencerminkan keyakinan bahwa berbagi dan saling mendoakan adalah cara yang efektif untuk menolak bala dan mendapatkan keberkahan.

Tradisi Asyura menawarkan sebuah jendela ke dalam kekayaan budaya dan sejarah umat Islam. Dari ritual memasak hingga perayaan sejarah, setiap elemen dari Asyura mengandung makna mendalam yang mengajarkan tentang kesabaran, kesyukuran, dan persatuan. Dengan merayakan Asyura, kita tidak hanya menghormati warisan spiritual tetapi juga memperkuat hubungan sosial dan budaya kita dengan cara yang penuh berkah dan makna.

Jurnalis By: Veronica Amadea Patricia Putri/ Antropologi Sosial

             KKN Tim II Diponegoro 2023/2024